Halaman

Jumat, 09 Juli 2010

Kuntowijoyo

Prelude: Kuntowijoyo pengarang yang buku karyanya jadi bahan skripsiku ini belum pernah kutemui atau ku ajak dialog, padahal seharusnya aku berterima kasih padanya atas karyanya yang memberiku inspirasi sehingga kelar kuliah S1ku. Dalam rangka berterima kasih, tulisan ini disusun. Semoga Oom Kunto tetap aktif berkarya
Prof Dr Kuntowijoyo dilahirkan di Sorobayan, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 (berarti tahun ini genap 60 tahun). Namun, meski dilahirkan di
Yogyakarta
, masa kecil Kuntowijoyo lebih banyak dilewatinya di Klaten dan Solo. Di Klaten Kuntowijoyo tinggal di sebuah desa bernama Ngawonggo, di wilayah Kecamatan Ceper.
Pertengahan 1950-an, Ngawonggo hanyalah sebuah desa sunyi. Di kesunyian desa itu jarang ada orang yang tahu bahwa ada dua sastrawan nasional yang secara bersahaja mengajari anak-anak kecil berdeklamasi dan mendongeng, di sebuah surau sederhana. Dua sastrawan itu adalah M Saribi Arifin (salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan) dan M Yusmanam. Barangkali M Saribi Arifin dan M Yusmanam juga belum tahu, bahwa dari antara murid mengaji yang diajarinya berdeklamasi dan mendongeng itu, kelak muncul seorang sastrawan dan sejarawan yang cukup disegani. Murid mengaji itu adalah Kuntowijoyo.
Di luar kegiatan belajar mengaji dan deklamasi, di desa kecil itu Kuntowijoyo kecil juga gemar menyimak siaran radio RRI Surakarta yang menggelar siaran sastra, diasuh dua penyair Mansur Samin dan Budiman S Hartojo.
Sementara itu, pada siang hari Kuntowijoyo sering menyempatkan diri pergi ke kota kecamatan, memasuki gedung perpustakaan (konon milik Masyumi). Di situlah Kuntowijoyo (siswa madrasah ibtidaiyah dan SRN) melahap kisah-kisah Karl May, pengarang cerita-cerita petualangan di negeri Balkan dan pedalaman suku Indian. Pada usia SMP ia membaca karya-karya Nugroho Notosusanto, Sitor Situmorang, dan karya-karya yang dimuat di majalah Kisah.
Masa SR-SMP dijalaninya dengan berbagai ketertarikan terhadap dunia bacaan dan sastra, meski Kuntowijoyo hidup di sebuah desa. Waktu itu ia tinggal bersama kakeknya yang menjadi demang (lurah) di Ngawonggo. Setamat SMP, 1959, ia mengikuti salah seorang mbah cilik-nya, seorang pedagang batik, hidup di Solo. Mbah cilik ini memiliki sebuah almari yang menyimpan banyak buku sastra dan ensiklopedi. Di masa SMA itulah Kuntowijoyo melahap karya-karya Charles Dickens dan Anton Chekov. Bermula dari usia SMP berlanjut ke SMA, ia menulis cerita dan sinopsis dengan tulisan tangan.
Berkembang di Yogya
AYAH KUNTOWIJOYO adalah seorang seniman pedalangan dan seni macapat, sementara eyang buyut-nya seorang khattat, penulis mushaf Al Quran dengan tangan. Bisa jadi darah seni Kuntowijoyo mengalir dari mereka. Darah seni, sejumlah pengalaman, dan bacaan masa kecil itulah yang mengantarkan Kuntowijoyo ke jalur penulisan sastra. Tahun 1964, ketika menjadi mahasiswa sejarah di Fakultas Sastra UGM (masuk 1962), ia menulis novel pertamanya, “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” dan dimuat di Harian Djihad (1966).
Di kampus UGM itulah bakat sastranya lebih terasa. Bersama beberapa temannya ia mendirikan LEKSI (Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam). Di kampus itu pula Kuntowijoyo menulis prosa dan drama. Dramanya yang berjudul “Sebuah Jembatan telah Dibangun” sempat dipanggungkan oleh LEKSI di Jakarta (1965) dengan sutradara A Bastari Asnin, dalam acara Musyawarah Besar Tani Indonesia. Namun, pemanggungan ini kemudian dihentikan panitia yang sebagian besar adalah orang-orang kiri. Selain LEKSI, Kuntowijoyo juga mendirikan Studi Group Mantika bersama M Dawam Raharjo, Sju’bah Asa, Chairul Umam, Ikranagara, Arifin C Noer, Abdul Hadi WM, dan Amri Yahya. Kelompok ini sempat menggelar pameran lukisan di Malioboro.
Karya-karyanya yang ditulis semasa mahasiswa, banyak mendapatkan hadiah dari berbagai lomba. Misal Hadiah Harapan dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) untuk drama “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968), Hadiah Pertama Sayembara Menulis Cerpen di Majalah Sastra untuk cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (1968). Hadiah Sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta untuk drama “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas” (1972), Hadiah Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku Internasional untuk novel “Pasar” (1972), dan Hadiah Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta untuk drama “Topeng Kayu” (1973).
1969 Kuntowijoyo menjadi sarjana sastra Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. Pada tahun itu juga, Kuntowijoyo menikahi Susilaningsih, gadis sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari pernikahan ini kemudian lahir dua anak, bernama Punang Amaripuja dan Alun Paradipta. Hingga kini mereka tetap tinggal di Yogya Utara.
Berkaitan dengan kariernya sebagai sejarawan dan dosen, tahun 1973 Kuntowijoyo mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di AS. Dia memperoleh gelar MA dari
University
of
Connecticut
(1974) dan PhD dari
Columbia
University
(1980). Sekembalinya ke Indonesia, ia lebih disibukkan dengan berbagai kegiatan akademik, diskusi, dan seminar. Praktis pada masa ini kegiatan bersastranya berkurang, dan ia sendiri mengakui bahwa untuk masa sekitar dua puluh tahun (1973-1993) dianggapnya sebagai masa “pensiun”. Ia bahkan tidak menghasilkan sebuah cerpen pun. Namun, justru pada masa inilah puisinya tercipta.
Musibah yang menimpanya pada 6 Januari 1992 (terserang penyakit meningo encephalitis) menyebabkan Kuntowijoyo harus rehat dari berbagai kegiatan, termasuk bersastra. Maha Besar Allah. Pada 1993 kesehatan Kuntowijoyo kembali pulih. Ia pun kembali berkarya lagi. Malah cerpen-cerpennya mengalir cukup deras.
Produktivitas Kuntowijoyo yang mencengangkan, padahal belum lama menjalani “ujian” berupa sakit, barangkali berkaitan dengan prinsip bersastra dan kebiasaan-kebiasaan masa lalunya. Kuntowijoyo menganggap, sastra adalah proses pengendapan pengalaman, dan sudah sejak 1962, bahkan jauh sebelum itu ketika masih SMP, ia terbiasa menulis catatan-catatan cerita dan sinopsis. Catatan-catatan dan pengalaman yang mengendap bertahun-tahun itulah yang kini secara sporadis menggoda Kuntowijoyo untuk menulis.

Dalam kegiatan sastra dan budayanya, berbagai penghargaan telah pula diraih. Berturut-turut : (1) Hadiah Seni dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986); (2) Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1994); (3) Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995); (4) Cerpen Terbaik Kompas (1995, 1996, 1997) untuk cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”, “Pistol Perdamaian”, dan “Anjing-anjing yang Menyerbu Kuburan”; (5) Asean Award on Cultural (1997); (6) Satya Lencana Kebudayaan RI (1997); (7) Mizan Award (1998); (8) Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999); (9) SEA Write Award (1999) dari Pemerintah Thailand.
Selama bergelut dengan penulisan sastra, dari tangan Kuntowijoyo lahir karya-karya dalam berbagai genre (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999: 16). Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan “Rumput-rumput Danau Bento” (1968), “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas” (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia telah menulis “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), Impian Amerika (1998), dan Mantra Pejinak Ular (2000). Sebagai ilmuwan dan penganut Islam yang teguh, antara lain menghasilkan Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985) dan Paradigma Islam (1991).
Proses Kreatif
DI DALAM DIRI Kuntowijoyo mengalir (sekaligus) dua warna budaya, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Kedua budaya itu masih sama-sama berlatarkan kultur kejawen, tetapi memiliki beberapa perbedaan. Budaya Yogyakarta bersifat serba seadanya-gagah-maskulin-aktif karena dilahirkan oleh seorang prajurit pemberontak (orang terusir); sedang budaya Surakarta lebih bersifat kenes-penuh-bunga-feminim-kontemplatif, karena lahir di tengah kemapanan dan kenyamanan. Kedua warna budaya itu tampaknya memberikan warna tersendiri dalam proses kreatif penulisan karya-karya Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo terbiasa menjalani kehidupan yang dialektis, dan mencari sintesis atas berbagai perbedaan yang terjadi di sekelilingnya. Beberapa sikap dan pemikiran Kuntowijoyo, baik dalam bidang sejarah, keagamaan, maupun sastra menampakkan hal yang demikian.
Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan setidaknya ada dua macam sastra yang saling bertentangan. Pertama, sastra universal-humanistik-emansipatoris-liberal. Kedua, sastra yang mementingkan hal relijius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan Kuntowijoyo adalah jenis sastra yang bisa menggabungkan keduanya, yaitu sastra (Islam) profetik. Sastra profetik adalah sastra yang sekaligus mengandung emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (iman bi Allah).
Emansipasi itu sesuai dengan semangat peradaban Barat yang percaya kepada the idea of progress, demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme, dan selfishness; Liberasi sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan); Transendensi adalah prinsip semua agama dan terutama filsafat perenial.

Sebagai terapannya, karya-karya sastra Kuntowijoyo adalah karya yang bergerak antara kutub imajinasi dan realitas/nilai. Hasil sintesisnya adalah realisme yang diperluas atau realitas puitik.
Meski kesadaran puitik Kuntowijoyo cukup tinggi, tetapi ia sendiri mengakui banyak kesulitan untuk produktif dalam menulis puisi. Mencipta puisi memerlukan energi yang cukup besar, karena puisi lebih bersifat representasional dan kental jika dibandingkan dengan prosa yang lebih diskursif. Karena itu, sastrawan pengagum Rabindranath Tagore, Dostoyevsky dan Anton Chekov ini lebih banyak mencecar pembaca dengan karya-karya prosa, terutama cerpen, dibanding puisi. Meskipun demikian, Kuntowijoyo memposisikan puisi lebih tinggi dibanding prosa.
Dasar-dasar kreativitas Kuntowijoyo adalah bahwa dia selalu menulis dengan intuisi, tanpa formula apa pun, tanpa resep apa pun. Diksi-diksi puitik dan cerita rekaan begitu saja keluar secara langsung, alamiah, dan sederhana. Itu sebabnya ia kurang percaya dengan teori sastra. Dalam prosa, cerita-cerita Kuntowijoyo selalu dimulai dengan gagasan yang sangat sederhana. Gagasan itu biasanya berangkat dari hal-hal semacam pengalaman “traumatik”, yang ditemuinya dan sudah diendapkannya selama bertahun-tahun, terkadang malah sudah sempat terlupakan. Gagasan itu muncul tiba-tiba dan menggoda untuk segera dituliskan.
Kuntowijoyo memang terbiasa menyimpan dan mengendapkan gagasan. Untuk menyiasati “organisasi” pengendapan gagasan yang selalu menumpuk itu, Kuntowijoyo terbiasa menulis sinopsis cerita yang ditulisnya dalam sebuah buku catatan: ia menamakannya “Catatan Kecil”. Kebiasaan itu dilakukannya sejak 1962. Pengendapan itu merupakan satu jalan agar cerita, yang pada saatnya layak dihadirkan akan hadir secara “matang”. “Matang” bagi Kuntowijoyo berarti semua unsur cerita menjadi lengkap, tetapi tetap terasa spontan, wajar, dan tanpa beban.
Untuk mematangkan karya, Kuntowijoyo menyodorkan konsep three in one, tiga unsur untuk melengkapi proses kreatif bersastra. Ketiganya adalah strukturisasi pengalaman, strukturisasi imajinasi, dan strukturisasi nilai (konsep ini disampaikan Kuntowijoyo ketika memberikan sambutan penerimaan Hadiah Sastra SEA Write Award 1999).
Pertama, sastra adalah strukturisasi pengalaman, baik itu pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, pengalaman kolektif, maupun pengalaman hasil riset. Pengalaman yang menjadi bahan dasar karya sastra itu berserakan di mana-mana, tidak pernah utuh, dan selalu terpotong-potong. Pengaranglah yang bertugas menjadikan potongan-potongan itu menjadi sebuah struktur yang utuh dan bermakna.
Kedua, karya sastra adalah strukturisasi imajinasi. Bagi Kuntowijoyo, pengarang itu seperti tukang batu. Di hadapan tukang batu ada batu bata, semen, kayu-kayu, dan genteng yang harus dibuat menjadi sebuah rumah. Dengan sendirinya tukang batu itu mempunyai imajinasi tentang bentuk rumah. Demikian juga seorang pengarang, harus mempunyai imajinasi mengenai struktur narasi yang akan dibuatnya. Dengan imajinasi, pengarang melengkapi, mengubah, merangkai, merekat dan menyulap pengalaman menjadi sebuah kesatuan yang memiliki makna.
Ketiga, karya sastra adalah strukturisasi nilai. Nilai dapat berasal dari agama, filsafat, ilmu, kata-kata mutiara, kebiasaan sehari-hari, atau apa saja. Nilai-nilai itu diinternalisasikan ke dalam karya sastra. Namun, mesti diingat bahwa nilai-nilai yang diinternalisasikan ke dalam karya sastra ini hendaknya tidak membebani karya sastra itu sendiri sehingga pengarang melupakan struktur teks. Sebaliknya, pengarang harus menjadikan nilai itu sebagai nilai tambah karya sastra yang ditulisnya.

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    BalasHapus