Halaman

Jumat, 09 Juli 2010

Apakah Ki Panji Kusmin Sebenarnya Adalah WS Rendra?

Senang sekali beberapa sahabat saya dari Kompasiana bisa ikut menemani saya membacakan puisi di acara ‘Mengenang WS Rendra’ Jumat malam 14 Agustus kemarin. Rumah Perubahan milik Rizal Ranmli yang biasa dipakai untuk acara diskusi politik , kegiatan seni sastra dan budaya tanpa sekat partai dan golongan apa pun, cukup penuh dikunjungi lebih dari 100 orang. Duduk di atas karpet sembari bersila dan menikmati kacang rebus, singkong dan ubi, suasana bagitu akrab dan santai. Saya sungguh menikmati suasana itu. Berkesenian, memang seharusnya tak ada batasan ideologi suku, bangsa, agama, maupun simpatisan partai mana pun.
Semakin malam, semakin seru. Seniman sastrawan Noorca Massardi berkisah tentang pengalamannya selama ini dengan almarhum. Juga Deddy Mizwar yang menggebu-gebu. Teguh Esa pengarang Ali Topan Anak Jalanan juga bertutur tentang Rendra. Lola yang cantik juga berpuisi dengan baik. Fadli Zon, tak saya sangka, begitu bagus membacakan puisi Rendra dengan gempita. Pada kesempatan itu, saya membacakan pula dua puisi Rendra yang sempat ia buat 31 tahun lalu untuk saya. Mantan Mensesneg Moerdiono bercerita pula kekaguman dan kedekatannnya dengan seniman hebat ini saat ia belum duduk di kursi kabinet sampai berkunjung sekian kali menengok di Rumah Sakit. Addie Massardi, menutup acara dengan puisi Rendra terakhir yang ia ciptakan di penghujung kematiannya. Haru memang.
Sebenarnya ada hal yang sungguh menarik tapi tidak begitu tertangkap oleh para hadirin. Setelah Rieke Diah Pitaloka membacakan puisi ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta’, seorang dosen Sastra Indonesia, Ibnoe Wahyudi maju berbicara ke depan. Ia mengingatkan kita semua, ada persamaan yang betul-betul amat mirip antara tulisan cerpen ‘Langit Makin Mendung’ yang dibuat tahun 1968 oleh Ki Panji Kusmin, dengan puisi Rendra ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta’ tahun 1969.
Memori saya kembali kepada kejadian penting yang pernah bikin heboh Indonesia. Puluhan tahun lalu HB Jassin, ‘paus’nya Sastra Indonesia sempat dipenjara. Penyebabnya adalah tulisan cerpen Langit Makin Mendung di Majalah Sastra yang dianggap sangat sara pada zaman itu. Dan di bawah pertanggunganjawabnya sebagai pemimpin redaksi, HB Jassin, ia diadili. Jassin didesak untuk menjelaskan siapa Ki Panji Kusmin sebenarnya, sang penulis Langit Makin Mendung yang bikin heboh dan menyulut amarah sebagian dari masyarakat. Tetap saja HB Jassin bungkam . Ia pun akhirnya rela masuk bui demi menjaga dan merahasiakan sumbernya.
Saya betul-betul baru tersadar, saat Ibnoe Wahyudi dengan kejeliannya, memaparkan bahwa sebagian dari rangkaian kata dalam Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta yang diciptakan Rendra dan dimuat di Selecta tahun 1969, dan cuplikan rentetan kata yang ada pada cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin tahun 1968 amat sangat mirip , bahkan sama. Saya pun kembali berkata-kata dalam hati…cerpen itu dibuat tahun 1968, sedangkan puisi Rendra tahun 1969. Jadi, bisa dibayangkan, apabila dugaan awal Ibnoe ( dan sekarang, kita semua ) benar, maka sampai meninggalnya Rendra tak pernah sempat terungkap siapa Ki Panji Kusmin sesungguhnya - yang menyebabkan HB Jassin rela dipenjara demi etika yang dipanggulnya………
Rasanya sudah saatnya kini para pengamat sastra membahas lagi puisi ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta’ , juga tulisan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin. Ini soal sejarah Sastra Indonesia. Sejarah untuk kita semua. Dan generasi jauh berikutnya.
Apakah Ki Panji Kusmin, sebenarnya adalah WS Rendra..???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar